Menikah Karena Allah


Sebuah judul yang menarik untuk dibahas,,, memang umurku masih muda ( menginjak 21th )

tapi wajar ajah lah,,menginginkan segera berkeluarga..(hihiii..takut gak kebagian :P)

yang jadi masalahnya,,

apa aku sudah siap??

pernikahan bukanlah permainan...

Pernikahan adalah suatu ibadah kepada-Nya..!!

& harus ada sosok lelaki yang bijaksana beriman bisa mengimami keluarganya...


Saat ini ku dipertemukan dengan sosok pria itu,,

seorang pria yang sungguh mencintai-Nya melebihi sesuatu

Seorang pria yang mengetahui bagi siapa & untuk apa dia hidup,sehingga hidupnya tidak sia-sia

Seorang pria yang memiliki hati yang bijak bukan hanya sekedar otak yang cerdas

Seorang pria yang tidak hanya mencintaku,tetapi juga menghormatiku

Seorang pria yang tidak hanya memujaku,tetapi juga menasehati ketika aku berbuat salah

Seorang pria yang bisa menjadi sahabat terbaikku di setiap waktu & situasi

Seorang pria yang membutuhkan do'aku untuk kehidupannya

Seorang pria yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya & untuk memberi semangat dalam hidupnya..

Dan aku pun meminta : Buatlah aku menjadi seorang perempuan yang bisa membuat pria itu bangga

Berikanlah aku sebuah hati yang sungguh mencintai-MU, sehingga ku dapat mencintainya dengan cinta-Mu, bukan mencintainya hanya sekedar cintaku,,

Berikanlah tangan-Mu sehingga ku mampu untuk selalu berdo'a untuknya,,

Berikanlah aku mulut-Mu yang penuh dengan kata-kata bijaksan-Mu dan pemberi semangat, sehingga ku bisa mendukungnya setiap hari, dan aku bisa tersenyum untuk menyambutnya setiap pagi,,

Dan bilamana kami akan bertemu,,aku berharap kami berdua bisa mengatakan " Betapa Mulianya Engkau telah memberikanku seseorang yang bisa membuat hidupku sempurna"


Yaaa begitulah keadaan yang saat ini ku alami,,

Pernah ku ajukan pertanyaan kepadanya.."apa arti seorang istri?"

jawabnya " Belahan jiwanya seorang suami, jadi setiap da masalah apa-apa n tu sekiranya penting harus berdua atau tanyakan dulu pada suami.Saling mengisi n saling menutupi.! SIGARANENG NYOWO"

ku seneng dengan jawaban itu,& ku ajukan pertanyaan lagi "apa maksud dengan kata mengisi & saling menutupi tsb?"

jawabnya " Mengisi bila ada yang salah dibenarkan bila ada yang benar diteruskan. Menutupi aib, Jangan sampai aib suami or istrimu,dikata-katakan kepada orang lain"


Itu adalah salah satunya pertnyaan" yang kami saling ajukan,,

& masih banyak lagi pertanyaan" lainnya yg tak cukup ku ketikan di sini,,,(hihii,,,bisa gak ada habisnya nanti ^_~)

& karena itu, aku yakin kepadanya,,(menikah karena Allah)


& Untuk temen"s yang baca catatan ini semoga bisa mengambil hikmahnya

karena sebuah pernikahan itu tidaklah untuk main"...

& semoga ku bisa segera menikah dengannya karena Allah Ta'ala ^_^

Amiinnn...

Do'a dikala sedih menderita yang mendalam

di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Ada kalanya menang ada kalanya kalah. Susah dan senang silih berganti. Senangnya merupakan kesenangan yang menipu, sedihnya merupakan kesengsaraan sementara. Itulah dinamika kehidupan di alam fana. Sungguh berbeda dengan kehidupan sejati dan abadi di akhirat kelak nanti. Barangsiapa senang, maka ia akan selamanya senang (Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan ini). Barangsiapa menderita, maka ia akan menderita selamanya (wa na’udzu billahi min dzalika).


Orang beriman yang benar-benar memahami hakikat kehidupan di dunia tidak akan pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam kesenangan sehingga membuat lupa diri. Demikian pula saat mengalami kesedihan, maka ia tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam keputus-asaan.



Di antara ciri khas orang beriman ialah saat ia dirundung malang, maka ia segera kembali kepada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Allah Subhaanahu wa ta’aala. Ia segera mengingatNya (dzikrullah) dan memanggil-Nya. Sebab ia tahu bahwa hanya dengan mengingat dan memanggil Allah sajalah hati akan memperoleh ketenteraman. Tidak ada tempat lain yang patut dijadikan muara pengaduan selain kepada Rabb, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa kehidupan ini.



الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ




”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’du ayat 28)



Setiap orang pasti pernah mengalami kondisi hidup yang mendatangkan kesedihan. Bahkan kadangkala bila ujian hidup terasa begitu berat ia menjadi penderitaan yang menimbulkan kesedihan sangat mendalam. Barangkali ada yang anaknya -buah hatinya- baru saja berpulang ke Rahmatullah. Atau barangkali seseorang baru saja bercerai dengan pasangan hidupnya. Atau barangkali baru dapat vonis dokter kalau dirinya mengidap penyakit berat. Atau barangkali anak pertamanya lahir dengan ketidak-sempurnaan fisik alias cacat permanen. Apapun keadaannya, yang jelas semua itu merupakan ujian Allah bagi orang beriman. Bila ia lulus menghadapinya, maka derajat imannya akan naik di sisi Allah.



Alhamdulillah kita punya Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang memberikan tuntunan bagaimana seharusnya kita selaku orang beriman berrespon terhadap keadaan sulit dalam hidup di dunia fana ini. Beliau mengajarkan sebuah do’a bagi siapapun yang menderita kesedihan mendalam.



Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Doa orang yang sedang menderita (kesedihan yang mendalam) ialah:



“Ya Allah, RahmatMu aku harapkan, janganlah Engkau serahkan segala urusanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku, tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau.” (HR Abu Dawud)



Dari do’a ini sekurangnya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik:



Pertama, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan orang yang menderita kesedihan mendalam agar hanya dan hanya mengharapkan rahmat (kasih-sayang) Allah. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan ummatnya agar senantiasa kembali kepada Allah sebelum segala sesuatunya. Sebab betapapun keadaan sulit yang dihadapi seseorang, namun jika dirinya masih dirahmati Allah berarti ia masih dikategorikan sebagai orang yang beruntung. Alangkah ruginya seseorang yang berhasil meraih berbagai kesuksesan duniawi namun dirinya jauh dari rahmat (kasih-sayang) Allah. Alangkah tertipunya orang yang berhasil mendapat simpati bahkan pujian manusia banyak namun Allah tidak mencurahkan rahmat-Nya kepada dirinya.



Kedua, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita untuk selalu bertawakkal hanya kepada Allah semata dalam semua urusan dan situasi kehidupan. Jangan hendaknya seseorang menyerahkan urusan dan persoalan hidupnya kepada dirinya sendiri atau kepada manusia lain. Sebab tidak ada manusia yang menguasai taqdir hidup dirinya sendiri apalagi orang lain. Allah sajalah Yang Maha Kuasa untuk mengubah hidup kita dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Allah sajalah Yang Maha Kuasa untuk mengubah taqdir seseorang. Oleh karenanya kita disuruh berdo’a kepada Allah. Jika do’a kita diperkenankan oleh Allah, maka sangat mungkin taqdir kita berubah. Mohonlah kepada Allah agar segala urusan kita diperbaiki-Nya.



Ketiga, kita disuruh mengulang kembali ikrar Tauhid Laa ilaaha illa Allah. Sebab dengan kita mengulang kembali komitmen fundamental ini, maka Allah akan memandang kita sebagai seorang mu’min yang memahami sepenuhnya ucapan dalam sholat kita yang berbunyi:



إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ



”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah ayat 4)



Saudaraku, marilah kita menghibur diri di kala sedih dengan jalan terbaik, yaitu mengikuti sunnah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Marilah kita biasakan membaca do’a yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ajarkan. Semoga dengan demikian Allah benar-benar akan mendatangkan ketenteraman bagi kita bersama. Selain itu, mudah-mudahan Allah akan memberi solusi terbaik saat kita menghadapi berbagai ujian kehidupan dunia yang fana ini.



Elok kiranya bila dalam rangka mengharapkan agar do’a kita lebih mungkin dikabulkan Allah, maka kita perbanyak membaca do’a pelipur lara ini ketika kita sedang dalam keadaan bersujud, khususnya ketika sujud terakhir dalam sholat-sholat sunnah kita. Sebab Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ



أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ



“Sedekat-dekatnya hamba kepada Rabbnya ialah ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah do’a.” (HR Muslim)


sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/doa-orang-yang-menderita-kesedihan-mendalam.htm

Jangan Pernah Putus Asa

Allah swt. berfirman dalam surat Yusuf : 87.





"Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir."


Seorang muslim yang benar adalah seorang yang mampu menanggung musibah-musibah yang dialaminya dengan teguh dan sabar dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan hikmah yang terbaik untuknya. Seorang yang beriman, tentu mengetahui bahwa takdir Allah swt akan menjadi kebaikan baginya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pahala dari sabar adalah surga. Anak, Isteri/Suami dan harta benda yang kita miliki bisa merupakan ujian dari Allah SWT dan jika suatu saat Allah berkehendak menguji atau bahkan mengambilnya kembali, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali bersabar dan tidak lantas berputus asa.
Allah SWT telah berfiman









”Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ”Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan secara sempurna dan rahmat dari tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ” (Al-Baqarah: 155-157).

Rasulullah SAW juga telah memperingatkan kita agar tidak berputus asa, karena dengan berputus asa, seseorang justru akan menyiksa diri sendiri. Lihatlah kasus orangtua yang membunuh anaknya karena mereka miskin, itu adalah salah satu contoh orang yang berputus asa dari rahmat Allah. Seandainya mereka mau berusaha, Insya Allah, Allah akan membukakan pintu rezekinya untuk mereka. Namun jika mereka hanya berputus asa bahkan sampai membunuh anaknya, saya yakin justru mereka akan menderita, selain mendapat dosa, batin mereka akan tersiksa......... padahal kalo mereka mau menyimak makna dari firman Allah pada
surat Yusuf : 86 yang artinya : "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya."
hanya kepada Allah swt. kita berserah diri dan jiwa kita yang selalu berada dalam kekuasaan-NYA.jangan pernah berputus asa, atas apa yang telah ditakdirkan Allah swt,......... karena putus asa adalah perbuatan orang2 kafir........... makanya berhati-hatilah sodaraku..........
mungkin menurut kita tidak baik, tapi menurut Allah swt, menyimpan hikmah yang tidak kita ketahui.........dan yang menurut kita baik, bisa jadi suatu hal yang dimurkai oleh Allah swt......Maha benar Allah swt dengan segala firmannya.........

Ijabah Do’a

Apa yang terbayang dalam benak saudara ketika melihat / mendengar kata “Do’a”? Pastilah sederet keinginan dan permintaan dalam hidup kepada sang Maha Kaya pemilik semesta alam, Allah SWT. Bicara soal keinginan dan permintaan, takkan ada habisnya, jadi saya tidak akan membahas tentang itu. Melainkan bagaimana terijabahnya sebuah doa.
Doa, seperti tabiat manusia pada umumnya, mintanya selalu ingin agar cepat terkabul & cepat terlaksana. Kalau bisa, sebelum amin, dan cling,,, criiingg,,, apa yang diinginkan sudah terjadi atau sudah ada di depan mata, seperti dalam film khayalan.

Berikut akan disingkap secuil rahasia yang mungkin akan mengubah hidup dan cara pandang anda dalam meminta setitik kekayaan dariNya. Rahasia yang akan membuat Anda laksana raja dunia, karena apapun keinginan Anda bisa saja dikabulkan oleh-Nya, sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap orang. Haha,, intronya lebay banget yah…


Ada banyak syarat dan ketentuan agar do’a kita bisa terkabul. Juga ada saat-saat dimana do’a kita bisa menjadi ma’bul. Dan ada beberapa kondisi dimana do’a tidak akan ditolak. Insyaallah saya coba bahas satu persatu disini.

Syarat dan Ketentuan

Tidak mengatakan “Aku Telah Berdoa, Tapi Belum Juga Dikabulkan”.
Tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa.
Tidak berdoa untuk memutus tali silaturahmi.
Selalu berdoa dan tidak putus asa.
Yakin sepenuhnya kepada Allah, yaitu hendaknya kita hanya meminta kepada Allah swt, tidak mempersekutukanNya dengan siapapun.
Hendaknya kita semakin banyak melaksanakan berbagai perintah Allah berlandaskan iman kepada-Nya, serta dengan jalan menghidupkan berbagai sunnah Rasulullah saw.
Hendaknya isi do’a tidak hanya mencakup urusan dunia semata, melainkan mencakup urusan dunia dan akhirat sekaligus (ingat do’a sapujagat).
Hendaknya do’a disampaikan dengan “merendahkan diri” dan “suara yang lembut”.
Hendaknya pada saat berdo’a memadukan di dalam jiwa perasaan “berharap” dan “takut”. Berharap kepada Allah swt agar do’a tersebut dikabulkanNya, dan cemas kalau-kalau do’a kita tidak dikabulkan, bahkan tidak didengarNya.
Khusyu’ ketika berada di hadapan Allah Ta’ala, yakni adanya kesucian hati,yaitu jangan asal mulut bergerak sementara hati melayang kesana kemari.
Tidak Terburu-buru / bersabar dalam berdoa, namun juga tidak berbasa-basi / bertele-tele dalam meminta.
Memakan rezeki yang halal.
Agar tidak berputus asa bila do’anya belum terkabul, dan terus mencoba.
Tidak berdo’a pada perkara yang dilarang / mustahil.
Saat-saat Ma’bulnya Do’a

>> Ketika ayam berkokok
“Apabila engkau mendengar ayam berkokok, maka memintalah kepada Allah, karena sesungguhnya diantara keutamaannya (ayam itu) telah melihat malaikat. Dan jika engkau mendengar suara khimar (keledai) maka memintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan, sesungguhnya ia (khimar) telah melihat setan” (HR. Bukhari dan Muslim).

>> Ketika sahur / sepertiga malam terakhir
Rasulullah saw bersabda :“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758).
Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain. Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya.

>> Ketika berbuka puasa
Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)

>> Ketika malam Lailatul Qadar
Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah rah:
“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah.”

>> Ketika adzan berkumandang
Selain dianjurkan untuk menjawab adzan dengan lafazh yang sama, saat adzan dikumandangkan pun termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah saw bersabda:
“Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”).

>> Di antara adzan dan iqamah
Waktu jeda antara adzan dan iqamah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”).

>> Ketika sedang sujud dalam shalat
Rasulullah saw: “Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu” (HR. Muslim, no.482).

>> Ketika sebelum salam pada shalat wajib
Rasulullah saw bersabda: “Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah?’ Beliau bersabda: ‘Diakhir malam dan diakhir shalat wajib.’.” (HR. Tirmidzi, 3499).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin rah. a. berkata: “Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman:
“Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103).
Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).

>> Di hari Jum’at
Rasulullah saw bersabda : “Rasulullah saw menyebutkan tentang hari Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah ra.).

>> Ketika turun hujan
“Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun” (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078).

>> Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar
Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu:
“Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”.
Dalam riwayat lain: “Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al Albani di Shahih At Targhib, 1185).

>> Ketika hari Arafah
Hari Arafah adalah hari ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari tersebut dianjurkan memperbanyak doa, baik bagi jama’ah haji maupun bagi seluruh kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Doa yang terbaik adalah doa ketika hari Arafah” (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

>> Ketika perang berkecamuk
Salah satu keutamaan pergi ke medan perang dalam rangka berjihad di jalan Allah adalah doa dari orang yang berperang di jalan Allah ketika perang sedang berkecamuk, diijabah oleh Allah Ta’ala. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebutkan di atas (sama seperti ketika adzan berkumandang).

>> Ketika meminum air Zam-zam
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Khasiat Air Zam-zam itu sesuai niat peminumnya” (HR. Ibnu Majah, 2/1018. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah, 2502).

NB : Dikutip sebagian dari muslim.or.id. Kenapa mengutip? Sebab data yang saya tulis sendiri kurang valid hasilnya, khususnya untuk dalil-dalil pada hadits. Alhamdulillah ada artikel yang lebih baik, hehe…

Mengapa Do’a Kita Belum Diijabah?

Banyak dari kita yang mengeluh, kenapa do’a yang dipanjatkan setiap hari belum juga diijabah oleh Allah, kenapa? (Tanya kenapa??,,@_@;). Bukannya Allah itu pelit, bukan juga ngirit, lah kan Dia Maha Kaya, juga Maha Pengasih dan Penyayang, pastilah ada alasannya, kenapa Dia menangguhkan do’a-do’a kita, dan alasan itu ada pada diri kita sendiri. Atau dengan kata lain, kita sendirilah yang membuat do’a-do’a kita tak diijabah oleh-Nya.

Ada beberapa hal yang sekiranya yang dapat menyebabkan do’a kita belum terijabah oleh-Nya, yaitu :

Melanggar salah satu syarat dan ketentuan di atas.
Do’a anda diganti dengan pahala.
Do’a anda diganti dengan penghapusan dosa-dosa.
Do’a anda diganti dengan menjauhkan anda dari bala / bahaya, penyakit dan musibah.
Do’a anda diganti dengan dilancarkannya urusan anda yang lain.
Do’a kita diganti dengan sesuatu yang lebih baik menurut Allah.
Itu bukan menurut hemat saya loh, saya dapet dari baca-baca buku / artikel, juga denger dari pengajian-pengajian, tapi sayangnya lupa semua siapa orang-orangnya / judul buku / artikelnya, hehe… bagi saya, yang penting manfaat dan isinya.

Wajibnya Berdo’a

Ada yang bilang, orang berdo’a tuh orang yang gak ikhlas, lah kok bisa? (saya juga heran nih…). Katanya, kita ini sudah dikasih segala macem, bukankah bersyukur saja sudah cukup, kenapa musti berdo’a, kenapa musti minta lagi? Sedangkan keinginan manusia itu gak akan ada habisnya. Argumen yang simple, tapi cukup menyesatkan ternyata. Layaknya bersyukur, do’a itu juga adalah wajib, seperti pada ayat berikut :




“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”.” (QS. Al-Mu’min 60)





”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah 186)

Doa juga merupakan sebagai bukti kalau kita ini masih butuh pada-Nya, tidak sombong kepada-Nya, tidak berdoa sama dengan sombong dan Dia membenci orang-orang yang sombong, yang mana salah satu dosa besar. Namun, tatkala doa sudah terkabulkan, janganlah menjadi orang yang lupa diri, sehingga menyebabkan tercabutnya berkah dari apa yang kita dapatkan tersebut.

Jadi, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak berdo’a setiap hari, atau bahkan setiap waktu, pantang menyerah dan terus memohon kepada-Nya. Karena apapun do’a dan amalan kita, serta bagaimanapun parahnya dosa kita (selama kita tidak menyekutukan-Nya), apapun keputusanNya, entah diijabah ataukah belum, yang jelas tak akan ada satupun amalan yang sia-sia, semua pasti ada balasannya. Yang penting, kita tetap berhusnudzon kepadaNya, tetap berusaha / ikhtiyar dan berdo’a / tawakkal, dan semuanya akan terbayarkan alias indah pada waktunya, Insyaallah…


sumber : http://akzir.wordpress.com/2010/09/03/ijabah-doa/

Terjalin ^_^

Bismillah,,,,
hubungan kami pun terjalin
( 19-03-2011 )

semoga Engkau meridloi kami,,
tu yg kami harapkan..
Ku mulai intropeksi diri,,
yang sifat'q masih seperti anak kecil,,
Dapat diluruskan oleh'nya

Y saling melengkapi & menutupi,,
tu yg dia katakan,,
Semoga X ni ku tepat memilih,,
sesosok imam'q didunia & akherat..


Amiiinnn....
^_^

Pertemuanku ^_^

Dimulai dari situs FaceBook..
Ku bertemu dengan "Eling Mati"

Nama itu unik,,penuh makna
Awal perkenalanpun unik,,

Padahal dari dulu,jika ada yang ngajak kenalan aku g mau,,
gak mau tukar nomer HP,,tapi X ni
aku begitu saja mau,,

( 13 Maret 2011)
& Akhirnya ta'aruf pun dimulai,,
ku rasakan ketenangan hati,,
dia mengingatkanku pada sang Kuasa
aku jadi serasa dekat dengan Allah

Pertanyaan" yg dia tanyakan
selalu berhubungan dengan ALLAH,,
sungguh ku merasa tenang,,
Baru X ni ada seorang laki" yg seperti itu,,
Apkah ini akhir sakit hatiku??

Allah telah dekatkan aku kepada takdir'ku
Ya Allah,,,
jika memang dia jodohku,dekatlah sedekatnya
& jika tidak maka jauhkanlah,,

Semoga ada hikmah dibalik semua ini,,
^_^

Salah satu penyakit hatiku

Ku akui,,
aku memang tak seindah mereka,,
Ku terlalu banyak noda,,
Penyakit hatipun kini melekat dihatiku,,
Yang tak pernah ku harapkan,,

Hari itu ( 08 mar 2011 ),,
Ku tlah melontarkan,,
kalimat" yg sungguh membuatku puas,,
Seakan bebanku berkurang,,
Tapi,,

Ku akui,,
kata" itu tak pantas ku ucapkan,,
Begitu keras kah hatiku?
Begitu pendendamkah aku??

Ya Allah,,
Ampunilah hamba,,

اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِـيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِـيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِي، وَنُوْرَ صَدْرِي، وَجَلاَءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي.


“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, ubun-ubunku (nasib-ku) ada di tangan-Mu, telah lalu hukum-Mu atasku, adil ketetapan-Mu atasku, aku mohon kepada-Mu dengan perantara semua nama milik-Mu yang Engkau namakan sendiri, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan seseorang dari hamba-Mu, atau Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib disisi-Mu. Jadikanlah Al Qur’an sebagai penawar hatiku, cahaya dalam dadaku, penghapus dukaku dan pengusir keluh kesahku“

" ARTI SEBUAH CINTA..!! "


Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA…

Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.

Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)

Dalam haditsnya dari shahabat Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasaalam bersabda: “Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab : ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta

Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta

Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah

Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:

“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)

Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaii wassalam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”

Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. bersabda Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :

“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:

1. Membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.

2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.

3. Terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.

4. Mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.

5. Hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.

6. Menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.

7. Tunduknya hati di hadapan Allah

8. Berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).

9. Duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.

10. Menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)I

Cinta adalah Ibadah

Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa taala berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)

adalah hadits Anas yang telahrAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta

Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:

1. Cinta ibadah.

Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.

2. Cinta syirik.

Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

3. Cinta maksiat.

Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

4. Cinta tabiat.

Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang Idibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf ; 8 )

Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di menyatakan ” Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)

Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

1. Bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.

2. Bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.

3. Bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.

Wallahu a’lam.

" TUTUPLAH AIB SAUDARAMU...WAHAI MUSLIMAH "


Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”…

Saudariku muslimah…

Bagi kebanyakan kaum wanita, ibu-ibu ataupun remaja putri, bergunjing membicarakan aib, cacat, atau cela yang ada pada orang lain bukanlah perkara yang besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tidak asyik bila tidak membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu…”. “Si ‘Alanah orangnya suka ini dan itu…”.

Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”

Perbuatan seperti ini selain tidak pantas/tidak baik menurut perasaan dan akal sehat kita, ternyata syariat yang mulia pun mengharamkannya bahkan menekankan untuk melakukan yang sebaliknya yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain.

Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1

Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:

Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)

Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3.

Saudariku muslimah…

Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …

“Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)

Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat.

Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4.

Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi:

يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581)

Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah, ia berkata:

مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ

“Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.”7

Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya8.” (HR. Muslim no. 6537)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/291).

2 Baik seseorang yang disebarkan kejelekannya itu benar-benar terjatuh dalam perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yang tidak benar.

3 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/293), Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied (hal. 120), Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah, (hal. 312).

4 Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (hal. 390-391).

5 Yakni lisannya menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dalam hatinya.

6 Yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia. (Tuhfatul Ahwadzi)

7 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032

8 Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tentang ditutupnya aib si hamba di hari kiamat, ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aibnya dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang yang ada di mauqif (padang mahsyar). Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghisab aibnya dan tidak menyebut aibnya tersebut.” Namun kata Al-Qadhi, sisi yang pertama lebih nampak karena adanya hadits lain.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/360)

Hadits yang dimaksud adalah hadits dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ …

“Sesungguhnya (di hari penghisaban nanti) Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin (sehingga penghisabannya tersembunyi dari orang-orang yang hadir di mahsyar). Allah berfirman: ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yang pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yang dulunya di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya, hamba tahu wahai Rabbku (itu adalah dosa-dosa yang pernah hamba lakukan).’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosanya dan ia memandang dirinya akan binasa karena dosa-dosa tersebut, Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini, dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

" JUJURLAH DAN JANGANLAH DUSTA ".


Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:

“Kedustaan itu tidak pantas digunakan untuk suatu keseriusan, dan tidak pula dalam senda gurauan. Jika engkau mau…,

bacalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)

Kemudian beliau katakan: “Apakah dalam ayat ini engkau dapati adanya satu keringanan bagi seorang pun (untuk berdusta,)?”

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:

“Jujurlah engkau dan pegang erat-erat kejujuran itu. Niscaya engkau akan menjadi orang yang jujur dan selamat dari hal-hal yang membinasakanmu. Dan niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan untukmu kelapangan berikut jalan keluar bagi (segala) urusanmu.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:

“Jika engkau ingin dikelompokkan dalam golongan orang-orang yang jujur, maka wajib bagimu untuk zuhud2 dalam dunia ini dan menahan diri dari (menyakiti) manusia.”

Maraji’: Tafsir Ibnu Katsir (2/525-526)

Dikutip dari http://www.asysyariah.com/ Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin , judul : Jujurlah

Tambahan:

1.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (An-Nahl: 105)

2.Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ

“Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315).

" APAKAH KEBERANIAN SEJATI ITU..?? "


“Tidak semua orang memiliki keberanian sejati. Tahukah anda apakah keberanian sejati itu? Keberanian sejati adalah sikap bersedia dikoreksi bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun dari orang yang memiliki kedudukan lebih rendah.” Berkata memang mudah. Namun untuk mempraktekkan apa yang diucapkan butuh pengorbanan yang besar.

Bahkan terkadang harus dengan taruhan nyawa. Orang yang berbicara dengan kata yang diolah demikian rupa dan disusun rapi dan indah sehingga mampu membuat orang terkesima, biasanya mudah diacungi jempol dan dianggap sebagai orang “hebat”. Walaupun dalam kesempatan lain dia melanggar dan menelan perkataannya sendiri.

Bila penilaian untuk menjadikan seseorang sebagai murabbi (pembimbing) cukup dengan perkataan yang membuat umat terkesima, maka sadarilah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan kepada Rasul-Nya agar berhati-hati dari orang demikian (artinya):

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (Al An’am: 116)

“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan melainkan kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An Najm: 29-30)

Engkau jangan merasa aman dan terlalu percaya diri, terlebih angkuh dan sombong. Telah berlalu suri tauladan yang buruk yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebuah kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki ilmu bagaikan gunung menjulang setinggi langit, ibadah yang kuat, zuhud, qana’ah, dan sifat-sifat mulia yag lain yang menghiasi bajunya. Namun dia harus menanggalkan kemuliaannya itu di hadapan seorang wanita yang kurang dan lemah akalnya. Dialah ‘Imran bin Haththan (salah seorang tokoh Sunni, namun setelah menikah dengan puteri pamannya, seorang wanita Khawarij, justru dia menjadi tokoh Khawarij. Bahkan dia memuji Ibnu Muljim pembunuh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu).

Oleh karena itu dengarlah bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya (artinya):

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi: 28)

Semoga dengan peringatan ayat-ayat ini engkau terbangun dari tidur lalu bergegas menuju orang-orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Duduk bersama mereka adalah bimbingan dan keselamatan. Dan keselamatan diri dan agama tidak bisa ditukar oleh apapun juga.

Setan Bersama Orang Yang Menyendiri

Serigala akan berani menerkam apabila seekor kambing melepaskan diri dari kelompoknya dan berjalan penuh percaya diri tanpa peduli. Ingatlah, di hadapanmu ada yang lebih tinggi dari dirimu.

Ingatkah engkau ketika iblis dengan penuh kesabaran merayu bapak dan ibu kita Adam dan Hawa yang pada akhirnya keduanya harus menelan kepahitan hidup di atas ujian yang tadinya di atas kehidupan yang diliputi rahmat dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Engkau tidak akan bisa menyamai Nabi Adam Alaihissalam. Oleh karena itu, kembalilah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan berjalan bersama orang-orang yang mengejar ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan mencari keselamatan dari-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahayanya menyendiri dalam bermalam dan berjalan ketika safar.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyendiri ketika bermalam dan menyendiri ketika safar.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah)

“Pengendara seorang diri (adalah) pelaku maksiat, dua pengendara (adalah) dua pelaku maksiat, dan tiga pengendara itulah pengendara yang benar.” (HR. Malik, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan lain-lain dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Al Imam Ath Thabari mengatakan: “Peringatan ini merupakan adab dan bimbingan dikarenakan kengerian yang akan dialami ketika sendirian dan bukan haram hukumnya. Seseorang yang berjalan di padang sahara seorang diri atau orang yang bermalam seorang diri tidak akan aman dari kengerian, terlebih kalau dia memiliki pemikiran yang jelek atau memiliki hati yang lemah. Yang benar adalah, manusia dalam permasalahan ini berbeda-beda keadaannya. Adanya larangan dan peringatan tersebut untuk menutup kemungkinan-kemungkinan di atas. Oleh karena itu, dibenci (makruh) melakukan safar seorang diri dengan tujuan menutup pintu-pintu (kejahatan tersebut). Dan dibencinya dua orang lebih ringan dibanding dengan menyendiri. (Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 1/132)

Demikian hakikat perjalanan di dunia bila menyendiri, akan dihantui marabahaya yang tidak kecil bahkan akan mengancam keselamatan. Bagaimana lagi kalau melakukan perjalanan menuju Allah ta’ala, sebagai persinggahan akhir dan terakhir. Haruskah kita melepaskan diri dari jalan orang yang beriman (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Berjalan seorang diri dengan penuh keberanian menantang dan melanggar pagar yang telah dibuat Allah Azza wa Jalla? Bukankah marabahaya yang mengancam (di akhirat) akan lebih besar dan dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang mengancam di dunia? Bukankah kobaran api yang menyala dengan bahan bakar manusia dan batu itu lebih mengerikan?

Keberanian Menerima Kebenaran Adalah Keberanian Yang Sejati

Guru teladan adalah guru yang siap menerima nasihat apabila salah dan siap kembali kepada kebenaran apabila tersesat tanpa menggugat kebenaran itu dan tanpa meremehkan siapa yang membawanya. Kebenaran adalah modal keselamatan, dan kebenaran itu lebih berharga daripada kita. Kebenaranlah yang menjadi akhir dari setiap usahanya. Dari itu ia menjunjung tinggi amanat Allah Azza wa Jalla ketika Dia mengatakan (artinya):

“Demi masa, seusungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

Mengangkat nasehat dalam kebenaran menjadi tujuan yang meliputi lubuk hatinya. Kapan saja dia mendengar kebenaran dan dimana menemukannya, dia segera mengambil dan berpegang dengannya.

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ : ﷲ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِم

“Agama ini adalah nasihat.” Kami mengatakan: “bagi siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan orang awam mereka.” (HR. Muslim)

Dalam buku Qawa’id wa Fawaid (hal. 95) disebutkan: “Cukup bagi seseorang berada dalam kemuliaan ketika dia melaksanakan apa yang telah dipukul oleh makhluk Allah ta’ala yang mulia dari kalangan para nabi dan rasul. Nasehat merupakan sebab yang membuat tinggi derajat para nabi. Maka barangsiapa yang menginginkan ketinggian dalam penilaian Rabb langit dan bumi, hendaklah dia melaksanakan tugas yang mulia ini.”

Pembimbing teladan adalah orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat:

“Menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim)

Keberanian dan sikap tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian yang terpuji dan sejati. Allah ta’ala mensifati kaum yang beriman dengan firman-Nya (artinya):

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dengan keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (An Nisa: 65)

“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) diantara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz Dzariyat: 55)

Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya peringatan (nasihat) itu akan bermanfaat bagi hati yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/238)

Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa peringatan tersebut akan bermanfaat bagi orang yang beriman karena pada diri mereka ada keimanan, rasa takut, taubat dan mengikuti ridha Allah subhanahu wa ta’ala, yang semua itu mengharuskan peringatan tersebut bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):

“Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat. Orang-orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan mendapat pelajaran, orang-orang yang kafir dan celaka akan menjauhinya.” (Al A’la: 9-11)

Adapun yang tidak memiliki iman dan tidak ada kesiapan untuk menerima peringatan, maka peringatan kepadanya tidak akan bermanfaat bagaikan tanah tandus yang hujan pun tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun. Golongan ini apabila datang kepada mereka ayat Allah subhanahu wa ta’ala mereka tidak beriman dengannya sampai mereka melihat adzab yang pedih.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 755)

Wallahu a’lam bishshowab.

" BERLAKU JUJUR DALAM MENERIMA KEBENARAN "

“Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia di tulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh:Syaikhul Islam ibnu Taimiyah

Dalam kitab shahih Bukhori dan Muslim disebutkan sebuah hadits yang tsabit dari ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

عن ابن مسعودرضى اللّه عنه عن النّبىّ قال : إنّ الصّدق يهدى إلى البرّ، وانّ البرّيهدى إلى الجنّة، وإنّ الرّجل ليصدق حتى يكتب عنداللّه صدّيما، وإنّ الكذب يهدى إلى الفجور، وإنّ الفجوريهدى إلى النّار، وإنّ الرّجل ليكذب حتّى يكتب عنداللّه كذّابا (متفق عليه)٠

“Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia di tulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah menerangkan bahwa kejujuran adalah watak dasar yang dapat membuahkan kebaikan, sedangkan kedustaan akan mewujud sebagai kejahatan. Dan sungguh Allah Tabaroka wata’ala berfirman

إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al Infithar: 13-14)

Oleh karena itu, jika mengehdaki para muridnya bertaubat dan menyukai supaya mereka tidak lari dan letih hatinya (jenuh, -ed.), sebagian masyayikh memerintahkan untuk berkata benar (jujur). Karena itu pula para ulama dan imam banyak menekankan soal kejujuran dalam pembicaraan mereka. Sampai-sampai mereka mengatakan, “katakanlah kepada orang-orang yang tidak berlaku jujur janganlah ia mengikuti aku.“

Mereka juga mengatakan, “kejujuran adalah pedang Allah Ta’ala yang ada di muka bumi. Tidaklah ia diletakkan di atas sesuatu melainkan ia akan memotongnya.”

Yusuf ibnu Asbath Rahimahullahu Ta’ala dan ulama lainnya berkata, “tidaklah seorang hamba berlaku jujur kepada Allah Ta’ala kecuali Allah Tabaroka wata’ala akan berbuat (baik) kepadanya.” Pernyataan semacam ini cukup banyak.

Kejujuran dan keikhlasan merupakan realisasi nilai keimanan dan keislaman. Karena orang yang berpenampilan sebagai orang Islam terbagi dalam dua kelompok; (yaitu) orang mukmin dan orang munafik. Namun yang membedakan keduanya adalah kejujuran. Hal itu sebagaimana yang telah disebutkan di dalam firman-Nya,

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul- Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat: 14-15)

Dan firman-Nya,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hasyr: 8 )

Allah Subhanahu wata’ala telah mengabarkan bahwa orang-orang jujur (benar) yang dipanggil dengan sebutan iman, mereka adalah orang-orang yang beriman yang keimanan mereka tidak terselimuti rasa ragu dan bimbang. Mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Itulah perjanjian yang telah diambil dari orang-orang terdahulu dan orang-orang yang datang kemudian. Sebagaimana firman Allah,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”.” (Ali Imran: 81)

Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu berkata, “tidaklah Allah Ta’ala mengutus seorang nabi pun, melainkan Dia telah mengambil perjanjian darinya. Jika Allah Ta’ala mengutus nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam dalam keadaan hidupnya, niscaya ia akan beriman dan menolongnya. Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan beliau Shallallahu’alaihi wasallam untuk mengambil perjanjian dari umatnya agar beriman kepadanya dan menolongnya.”

Dan firman-Nya,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al Hadid: 25)

Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan, Dia telah menurunkan Al Kitab dan timbangan, serta menciptakan besi agar keadilan bisa ditegakkan. Dan agar Allah Subhanahu wata’ala mengetahui orang-orng yang menolong-Nya dan Rasul-Nya. Oleh karena itu tegaknya agama ini adalah dengan kitab yang membimbing dan pedang yang menolong. Cukuplah Rabbmu Azza wajalla sebagai pembimbing dan penolong sekalipun Al-Kitab dan besi sama-sama sebagai dua hal yang diturunkan. Bisa jadi salah-satunya turun di tempat yang tidak sama dengan yang lainnya. Al Kitab (Al Quran) turun dari sisi Allah Azza wajalla, sebagaimana yang telah Allah Azza wajalla firmankan pada permulaan surat Az Zumar,

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Kitab (Al Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Az Zumar: 1)

Dan firman-Nya pada permulaan surat Huud,

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,” (Huud: 1)

Dan firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (An Naml: 6)

Sedangkan besi diturunkan dari pegunungan, tempat diciptakannya besi tersebut.

Demikian juga Allah Tabaroka wata’ala telah menggelari orang-orang yang jujur (benar) dengan panggilan “kebaikan”, -yang hal itu merupakan kumpulan perkara- perkara agama- dalam firman-Nya,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 177)

Adapun orang-orang munafik, Allah Tabaroka wata’ala telah menggelari mereka dengan sifat dusta dalam sekian banyak ayat sebagaimana firman-Nya,

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al Baqarah: 10)

Dan firman-Nya pada permulaan surat Al Munaafiquun,

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” Al Munaafiquun: 1)

Dan firman-Nya,

فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (Taubah: 77)

Ayat-ayat Al Quran yang semacam ini cukup banyak, di antaranya perkara yang pantas diketahui bahwa kejujuran dan pembenaran berlaku pada ucapan maupun perbuatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”

Dikatakan: mereka memperlakukan musuh dengan benar jika keinginan mereka untuk perang sungguh terbukti dan benar.

Dan ada pula yang menyatakan: Fulan adalah seorang yang benar (tulus) rasa cinta, kasih sayang, dan lain-lainnya.

Dengan demikiaan yang dimaksud dengan orang yang benar (jujur) adalah orang yang jujur dalam hal pengkabaran dan pembicaraannya. Sedangkan orang munafiq adalah kebalikan dari orang mukmin yang benar (keimannnya). Ia seringkali berdusta dalam hal pengkabaran dan perkataannya. Contohnya adalah seorang yang berbuat riya’ dalam beramal.

Allah Tabaroka wata’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An Nisa: 142)
 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Assalaamu'alaikum,,, |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact